TEORI TAWHID
Teori Tauhid
Oleh: H. Medy Satria (Lboro, April 2004)
1. Pendahuluan
Tulisan ini sengaja diberi judul “Teori Tauhid” karena tulisan ini hanya menjelaskan landasan landasan teori tentang tauhid, dan andaikan ada contoh contoh prakteknya pun, hanyalah sekedar “teori berpraktek tauhid”. Jadi setelah membaca tulisan ini, pembaca tidak akan dengan serta merta menjadi pribadi yang bertauhid, atau yang berpraktek tauhid. Batas maksimum yang bisa dicapai dengan membaca tulisan ini ialah : menjadi pribadi yang tahu teori tauhid dan teori berpraktek tauhid, itupun hanya teori singkat. Dalam istilah teori pendidikan, hanya domain kognitif (pengetahuan yang masuk dalam pikiran) saja yang didapat, dan (mungkin) sedikit domain afektif (penyerapan pengetahuan dalam kesadaran diri). Adapun domain psikomotoris (aksi nyata sebagai refleksi dari domain kognitif & afektif) sama sekali tidak akan didapat dari tulisan ini. Seseorang bisa disebut berkepribadian bertauhid yang sempurna jika dan hanya jika kesemua domain kognitif, afektif dan psikomotoris bertauhid ada dalam dirinya.
Lantas bagaimanakah cara menjadi pribadi bertauhid yang sempurna ? Sesungguhnya penulispun tidak tahu jawaban eksaknya, karena penulis juga tidak tahu apakah dia sudah menjadi pribadi bertauhid yang sempurna atau belum. Jawaban klisenya : praktekan pemahaman tauhid ini untuk mendasari segala aktifitas kita dalam kehidupan sehari hari, dari sejak bangun tidur sampai bangun tidur lagi. Menjadi pribadi bertauhid adalah suatu proses, yang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu latihan latihan, dan akan selalu ada godaan godaan dan benturan benturan. Proses ini ialah proses sepanjang hayat. Syaitan syaitan yang terkutuk akan selalu berusaha untuk menggelincirkan manusia dari jalan tauhid. Jadi perlu perjuangan keras, konsisten dan istiqomah untuk bisa menjadi pribadi yang bertauhid.
2. Definisi Ilah (Tuhan)
Sebelum berbicara lebih lanjut mengenai tauhid, terlebih dahulu perlu difahami konsep mengenai “ilah”, atau yang sering diterjemahkan sebagai “Tuhan”. Ilah, yang sering diterjemahkan sebagai “Tuhan”, sebenarnya mempunyai arti yang luas. Di dalam Al Qur’an, tercatat ada beberapa ayat yang mendefinisikan “ilah” untuk berbagai entitas, antara lain :
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya, dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas pengelihatannya ? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah. Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran ?” (QS 45 : 23)
“Dan Fir’aun berkata, “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui ilah bagimu selain aku. Maka bakarlah, hai Haman, untukku tanah liat, kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa.” (QS 28: 38)
Dari contoh ayat ayat diatas, ternyata ilah bisa mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (hawa nafsu yang mendominasi & memperbudak) atau benda nyata (Fir’aun atau penguasa, penguasa yang dipatuhi dan dipuja, yang harus diikuti semua keinginannya).
Didalam Al Qur’an tidak dijumpai perkataan atheis, karena tidak mungkin manusia itu tidak bertuhan/ber”ilah”. Faham atheis ialah omong kosong, tidak logis, tidak masuk akal. Menurut logika Al Qur’an : setiap manusia pasti bertuhan. Hanya alternatifnya ialah apakah dia bertuhan satu (monotheist) atau bertuhan banyak (polytheist). Oleh karena itu, perkataan ilah didalam Al Qur’an juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad : ilaahun), ganda (muthanna : ilaahaini) dan banyak (jama’ : aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme adalah tidak mungkin. Untuk dapat mengerti dengan tuntas akan masalah ini dapatlah kita buat definisi “tuhan” atau “ilah” yang tepat berdasarkan logika Al Qur’an sebagai berikut :
Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai (didominasi) olehnya (sesuatu itu).
Perkataan “dipentingkan” hendaklah diartikan secara luas. Tercakup didalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian.
3. Definisi Tauhid
Definisi formal tauhid dapat dilihat di ayat yang kita semua sudah hapal dan sering kita baca, yaitu QS Al Ikhlas 1-4:
Katakanlah, “Dialah Allah Yang Maha Esa”. (1) Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. (2) Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan (3) Dan tidak ada sesuatu apapun yang setara dengan Dia (4).
“Dialah Allah Yang Maha Esa”, inilah pokok pangkal akidah, puncak dari kepercayaan. Dia adalah mutlak Satu (ahad), yang tidak mempunyai bandingan, wakil, sekutu, saingan, yang menyerupai dan menyamai-Nya. Pengakuan atas KeEsaan Allah inilah yang disebut TAUHID. Tauhid ialah inti ajaran yang dibawa para Nabi di sepanjang zaman, dari Adam AS sampai Muhammad SAW. Allah ialah Ash-Shamad, yaitu Rabb yang semua makhluk menyandarkan diri kepada-Nya dalam setiap kebutuhan dan permasalahan mereka. Allah mustahil mempunyai anak, yang memerlukan anak hanyalah makhluk bernyawa yang menghendaki keturunan untuk melanjutkan generasinya. Sedangkan Allah hidup terus, tidak akan pernah mati. Allah juga tidak diperanakkan, artinya tidak mempunyai ayah ibu, karena sekali lagi, yang memerlukan ayah-ibu adalah makhluk yang punya awalan. Sedangkan Allah tidak berawal dan tidak berakhir. Tidak ada sesuatupun yang setara dengan Dia, artinya tidak ada satu makhlukpun yang bisa menyerupaiNya, dan menandingi kedudukanNya. Karena itu, dzat Allah tidak bisa dibayangkan oleh akal pikiran manusia, dzat-Nya berada diluar hal hal yang mungkin dibayangkan (all possible intelligible).
4. Syirik dan Musyrik
Dalam kenyataannya, kebanyakan manusia di muka bumi ini bertuhan lebih dari satu. Al Qur’an menamakan mereka ini musyrik, yaitu orang yang syirik. Kata syirik ini berasal dari kata “syaraka”, yang berarti “mencampurkan/menserikatkan dua benda/hal atau lebih yang tidak sama menjadi seolah olah sama”. Lawan dari “syaraka” ialah “khalasha”, yang artinya memurnikan. Inilah kenapa QS 112 disebut surat Al Ikhlas, karena surat ini menerangkan dasar dasar pemurnian pemahaman keTuhanan. Jadi orang yang ikhlas bertuhankan hanya Allah ialah orang yang benar benar bertauhid.
Mentauhidkan Allah tidaklah semudah percaya akan wujudnya Allah. Kalau hanya percaya bahwa Allah itu ada, maka orang orang kafir Qurais penyembah berhala sebelum nabi Muhammad SAW diutuspun sudah percaya bahwa Allah itu ada, dan Allah lah pencipta alam semesta. Hal ini disinggung dalam QS Al Ankabut ayat 61 :
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan yang menundukkan matahari dan bulan ? Niscaya mereka akan menjawab, “Allah”. Maka mengapa mereka dapat dipalingkan ?
Ulama mengistilahkan orang orang kafir Qurais tersebut baru mentauhidkan Allah dari aspek Rububiyah, namun belum mencapai aspek Uluhiyah. Mereka sudah percaya bahwa Allah lah Rabb pencipta alam semesta, namun mereka masih mensyarikatkan Allah dengan berhala berhala sembahan mereka, yang mereka anggap sebagai perantara antara mereka dengan Allah, dan mereka menganggap berhala berhala tadi bisa memberikan maslahat dan mudharat kepada mereka. Jadi dalam aspek peribadahan (ulluhiyah), mereka masih musyrik. Tauhid yang sempurna ialah tauhid baik di aspek Rububiyah maupun di aspek Uluhiyah.
Para ulama menggolongkan syirik ini menjadi 2 : syirik besar (akbar) dan syirik kecil (asyghar). Syirik besar ialah menyekutukan Allah dengan suatu makhluk seperti manusia, berhala, dewa dewa fiktif, dan sejenisnya, yang menganggap bahwa makhluk makhluk ini setara dengan Allah dan bisa memberikan kemaslahatan dan kemudhorotan. Dosa syirik akbar ini tidak akan diampuni oleh Allah, sebagaimana dijelaskan dalam frimanNya :
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain itu bagi siapa saja yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang menyekutukan Allah, maka sesungguhnya ia telah melakukan dosa yang besar. (QS An Nisa’ : 48).
Ayat ini dijelaskan oleh hadist hadist sebagai berikut :
Al Hafizh Abu Bakar al-Bazar meriwayatkan dalam musnadnya dari Anas bin Malik, dari Nabi SAW : “Kezaliman itu ada tiga : kezaliman yang tidak diampuni Allah, kezaliman yang diampuni Allah, dan kezaliman yang tidak ditinggalkan-Nya sedikitpun. Adapun kezaliman yang tidak akan diampuni Allah ialah syirik. Allah berfirman, “Sesungguhnya syirik itu merupakan kezaliman yang besar”. Kezaliman yang diampuni Allah ialah kezaliman hamba terhadap dirinya sendiri dalam hal yang menyangkut hubungannya dengan Allah (hablumminallah). Adapun kezaliman yang tidak akan ditinggalkan-Nya ialah kezaliman hamba yang satu terhadap yang lain (hablumminannaas) hingga dia tuntaskan untuk yang lain dari yang lain”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Dzar, dia berkata : “Rosulullah SAW bersabda, “Tidak ada hamba yang mengucapkan ‘tidak ada ilah melainkan Allah’ kemudian dia meninggal dengan meyakini bacaan itu kecuali dia masuk syurga.” Saya berkata, “Walaupun dia berzina dan mencuri ?” Nabi menjawab, “ Walaupun dia berzina dan mencuri”. Saya berkata, “Walaupun dia berzina dan mencuri ?” Nabi menjawab, “ Walaupun dia berzina dan mencuri”. Beliau mengatakannya tiga kali. Dan pada kali yang keempat, beliau berkata, “Meskipun Abu Dzar tidak menyetujui”. Ahmad berkata: “Maka Abu Dzar pergi, sambil menyeret kainnya dan berkata, “Meskipun Abu Dzar tidak setuju”. Abu Dzar menceritakan itu dikemudian hari, lalu berkata, “Walaupun Abu Dzar tidak setuju” (HR Ahmad)
Sedangkan syirik kecil ialah menyekutukan Allah dengan ilah ilah selain ilah syirik akbar tadi, misalnya ilah harta, kedudukan, syahwat, etc. Orang yang melakukan syirik kecil ini tetap berdosa, tapi dosanya masih bisa diampuni. Orang yang berzina pada dasarnya karena dia mengilahkan syahwat sex nya, sehingga dia berani melanggar aturan yang telah digariskan oleh Allah. Zina ini adalah dosa besar, manifestasi dari syirik kecil, namun dosa zina ini masih bisa diampuni, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadist Nabi diatas.
Didalam dunia modern sekarang ini, banyak manusia yang dibelenggu oleh ilah ilah keduniaan, seperti harta, tahta/kedudukan, syahwat. Dalam era materialisme dan kapitalisme yang mewabah di berbagai penjuru dunia saat ini, harta menjadi salah satu ilah yang mendominasi hidup manusia. Manusia menjadi serakah, merampas hak orang lain, demi memuaskan nafsu menumpuk numpuk harta yang ia miliki. Korupsi yang mendarah daging di kalangan elit pejabat, yang secara ekonomi sebenarnya sudah sangat berlebih, adalah wujud pengilahan atas harta. Mereka tega mengorbankan kepentingan rakyat banyak, bahkan menjual negara, semata mata demi memenuhi keserakahannya akan harta.
Ilah lain yang populer membelenggu manusia sepanjang zaman ialah tahta. Orang orang yang sudah dibelenggu oleh ilah tahta ini bisa berbuat apapun untuk mencapai tahta yang diinginkannya. Dari money politic, fitnah fitnah terhadap lawan politik, kebohongan kebohongan public, semuanya bisa dia lakukan untuk mendapatkan tahta yang diinginkan, baik menjadi lurah, walikota, anggota legislative, dan sebagainya. Tahta berkaitan erat dengan harta dan kehormatan, dan orang yang sudah gila harta dan kehormatan akan mengejar tahta tersebut untuk mendapatkan harta dan kehormatan tadi.
Ilah selanjutnya yang populer ialah syahwat sex. Orang yang mengumbar syahwat sex nya pada hakekatnya melakukan syirik dengan mempertuhankan syahwat sex nya tersebut. Fenomena kehidupan free sex dan penyimpangan sex yang melanda masyarakat modern saat ini adalah cerminan bagaimana manusia diperbudak oleh ilah syahwat sex ini.
Orang orang yang dibelenggu ilah ilah harta, tahta, syahwat, didalam Al Qur’an diibaratkan seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat dari binatang ternak tersebut. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al Furqon 43-44:
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya ? (43) Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami ? Tidaklah mereka itu melainkan seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat jalannya (44)
Orang yang terus menerus memperturutkan hawa nafsu dan syahwatnya, maka qolbunya akan tertutup oleh noda noda dosa yang akan menghalangi dari cahaya Allah. Tertutuplah ia dari petunjuk Allah, dan terjatuhlah ia ke tangan syaitan yang akan membawanya kepada kesesatan. Dunia akan menjadi gelap baginya, dan dia tidak akan melihat Shirat Al Mustaqiim (jalan yang lurus). Dia akan menjadi manusia yang buta, bukan buta dhahirnya, karena secara dhahir dia bisa melihat dunia ini tanpa suatu penutup apapun, akan tetapi yang buta ialah qolbunya, sebagaimana firman Allah :
Karena sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah qolbu yang ada di dalam dada. (QS 22 : 46)
Kondisi kebutaan ini jika dibawa sampai mati, maka di akhirat nanti ia akan dibangkitkan dalam keadaan buta pula, sebagaimana firman Allah :
Dan barangsiapa yang buta (qolbunya) di dunia ini, niscaya di akhirat nanti ia akan lebih buta dan lebih sesat jalannya. (QS 17:72)
Karena dia tidak bisa melihat dan mendengar, kelak di hari kiamat ia akan digiring ke neraka Jahanam dengan cara diseret oleh malaikat, sebagaimana firman Allah :
Dan barangsiapa yang ditunjuki Allah, dialah yang mendapat petunjuk dan barangsiapa yang Dia sesatkan maka sekali kali kamu tidak akan mendapat penolong penolong bagi mereka selain Dia. Dan kami akan mengumpulkan mereka di hari kiamat (diseret) atas muka mereka dalam keadaan buta, bisu dan tuli. Tempat kediaman mereka ialah neraka jahanam. Tiap tiap kali nyala api jahanam itu akan padam, Kami tambah lagi bagi mereka nyalanya. (QS 17:97)
5. Tauhid dan Kemerdekaan
Gerbang pertama seseorang bisa menjadi muslim ialah dengan bersumpah membaca dua kalimat syahadat : “Aku bersaksi tidak ada ilah melainkan Allah, dan aku bersaksi Muhammad ialah utusan Allah”. Syahadat pertama, “Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah”, merupakan deklarasi kemerdekaan tertinggi yang bisa dicapai manusia. Deklarasi inilah yang membebaskan setiap manusia yang mampu menghayatinya secara istiqomah dari segala macam bentuk perbudakan dan penjajahan, termasuk penjajahan hawa nafsunya sendiri. Manusia yang menghayati deklarasi ini dengan istiqamah ialah manusia yang paling sempurna nilai kemanusiaannya, dalam istilah Islam dinamai “insan kamil”.
Seorang yang telah mencapai tingkat tauhid yang istiqomah, maka seluruh irama hidupnya diatur oleh kehendak Allah SWT. Rasa lapar baginya merupakan cara Allah berkomunikasi dengan dia. Rasa lapar, yang merupakan salah satu sunatullah biologis yang dikaruniakan Allah kepada manusia, ditafsirkan oleh manusia bertauhid sebagai signal dari Allah agar ia makan demi mempertahankan kelangsungan hidupnya untuk mengabdi kepada Allah. Oleh karena itu, makan baginya bukan sekedar mengatasi rasa lapar, tetapi demi memenuhi perintah Allah, maka pasti dia akan memulai makan dengan membaca basmallah, dan mengakhiri makannya dengan hamdallah. Ketika ia belajar, maka belajar tersebut tidak semata mata hanya karena ingin mendapat nilai bagus, atau ingin lulus sarjana, tetapi lebih dari itu, ia belajar karena Allah memerintahkan setiap muslim untuk mencari ilmu, ilmu untuk melaksanakan misi kekhalifahannya di muka bumi. Dengan demikian, makan dan belajar bagi manusia bertauhid ini akan bernilai ibadah. Demikian pula dengan semua aktifitas lain, semuanya dia lakukan untuk mematuhi perintah Allah, untuk meraih ridhoNya. Dengan demikian, manusia yang istiqomah dalam tauhidnya akan merasakan seluruh hidup dan kegiatan hidupnya tiada lain merupakan ibadah yang kontinyu kepada Allah SWT.
Selain mendeklarasikan diri meyakini tidak ada ilah selain Allah, manusia bertauhid juga harus bersaksi bahwa Muhammad ialah utusan Allah. Syahadat kedua ini menegaskan bahwa untuk bertauhid secara benar, manusia perlu bimbingan wahyu dari Allah yang disampaikan kepada Rosul-Nya. Manusia tidak bisa bertauhid tanpa bimbingan wahyu. Karena itu, meyakini bahwa Muhammad SAW ialah utusan Allah ialah mutlak adanya.
6. Penutup
Tauhid ialah inti ajaran Islam, dan inti ajaran agama nabi nabi di sepanjang zaman. Mentauhidkan Allah dengan ikhlas menghendaki suatu perjuangan yang sangat berat. Mentauhidkan Allah ialah suatu jihad terbesar dalam hidup ini. Semoga Allah SWT memberikan kekuatan kita semua untuk bisa menjadi pribadi bertauhid, amien.
Wallahua’lam bisshawab.
H.M. Satria
Referensi
1. M Imaduddin Abdulrahim, Kuliah Tauhid, Penerbit Pustaka Salman ITB, 1982
2. Ibnu Kattsir, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Gema Insani Press, 2000
3. Hamka, Tafsir Al Ahzar, PT Pustaka Panjimas Jakarta, 1988
4. Imam Suhadi, “Hijab Qalbu”, Forum Kajian Tazkiyatun Nafs UI (www.paramartha.org)
0 ulasan:
Catat Ulasan